BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pengetahuan
adalah cabang filsafat yang ber urusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan,
pengandaian-pengandaian dan dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas
pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki. Mula-mula manusia percaya bahwa
dengan kekuasaan pengenalannya ia dapat mencapai realitas sebagaimana adanya
para filosof pra Sokrates, yaitu filosof pertama di alam tradisi Barat, tidak
memberikan perhatian pada cabang filsafat ini sebab mereka memusatkan perhatian,
terutama pada alam dan kemungkinan perubahan, sehingga mereka kerap dijuluki
filosof alam.
Pengetahuan
berkembang dari rasa ingin tahu,yang merupakan ciri khas manusia,karena manusia
adalah salah satunya makhluk yang mengembangkan pengetahuan secara sungguh-sungguh.binatang
juga mempunyai pengetahuan,namun
pengetahuan ini terbatas untuk kelangsungan hidupnya.manusia mengembangkan
pengetahuan untuk mengatasi kebutuhan-kebutuhan kelangsungan hidupnya.manusia
senantiasa penasaran terhadap cita-cita hidup ini.yang hendak diraih adalah
pengetahuan yang benar,kebenaran hidup itu.
Dan
ketika membahas tentang pengetahuan
ini, nantinya akan membahas tentang
bagaimana pengetahuan itu akan didapat oleh seorang manusia, dan metode apakah
yang akan dipakai untuk mendapatkan suatu pengetahuan?. Pastin kemudian akan
dijelaskan pada uraian berikutnya.
B.
Rumusan
Masalah
a. Apa
definisi pengetahuan ?
b. Bagaimana jalan memperoleh sumber pengetahuan ?
C.
Tujuan
a.
Untuk mengetahui definisi pengetahuan.
b.
Untuk mengetahui jalan memperoleh sumber pengetahuan.
BAB II
JALAN MEMPEROLEH PENGETAHUAN
A.
Pengertian Ilmu Pengetahuan
Secara etimologi, ilmu pengetahuan terdiri dari dua kata, yakni ilmu dan
pengetahuan. Ilmu dalam bahas Arab, berasal dari kata Alama artinya mengecap
atau memberi tanda. Sedangkan ilmu berarti pengetahuan. Sedangkan dalam bahasa
Inggris ilmu berarti science, yang berasal dari bahasa latin scientia, yang
merupakan turunan dari kata scire, dan mempunyai arti mengetahui (to know),
yang juga berarti belajar (to learn). Dalam Webster’s Dictionary disebutkan
bahwa;
Pengetahuan yang
membedakan dari ketidak tahuan atau kesalahpahaman; pengetahuan yang diperoleh
melalui belajar atau praktek, suatu bagian dari pengetahuan yang disusun
secara sistematis sebagai salah satu objek studi (ilmu teologi), pengetahuan
yang mencakup kebenaran umum atau hukum-hukum operasinal yang diperoleh dan
diuji melalui metode ilmiah; pengetahuan yang memperhatikan dunia pisik dan
gejala-gejalanya (ilmu pengetahuan alami), suatu sistem atau metode atau
pengakuan yang didasarkan pada prinsip-prinsip ilmiah.
Sedangkan pengetahuan
merupakan arti dari kata knowledge yang mempunyai arti;
“Kenyataan atau keadaan mengetahui sesuatu yang diperoleh secara umum
melalui pengalaman atau kebenaran secara umum, kenyataan atau kondisi manusia
yang menyadari sesuatu, kenyataan atau kondisi memiliki informasi yang sedang
dipelajari, sejumlah pengetahuan; susunan kepercayaan, informasi dan
prinsip-prinsip yang diperoleh manusia”.[1]
Konklusi dari
pernyataan diatas, Ilmu diinterpretasikan sebagai salah satu dari
pengetahuan yang diperoleh melalui metode ilmiah yang sistematis. Sedangkan
pengetahuan diperoleh dari kebiasaan atau pengalaman sehari-hari. Dengan
demikian ilmu lebih sempit dari pegetahuan, atau ilmu merupakan bagian dari
pengetahuan.
Pengertian tersebut
tidak jauh berbeda dari definisi yang dikemukakan oleh para ahli terminologi.
Kata ilmu diartikan oleh Charles Singer sebagai proses membuat pengetahuan.
Definisi yang hampir sama dikemukakan John Warfield yang
mengartikan ilmu sebagai rangkaian aktivitas penyelidikan. Sedangkan
pengetahuan menurut Zidi Gazalba merupakan hasil pekerjaan dari tahu yang
merupakan hasil dari kenal, sadar, insaf, mengerti dan pandai. Pengetahuan
menurutnya adalah milik atau isi fikiran. Sedangkan pengertian ilmu pengetahuan
sebagai terjemahan dari science, seperti dikatakan oleh Endang Saefuddin
Anshori ialah;
“Usaha pemahaman manusia yang disusun dalam satu sistem mengenai kenyataan,
struktur, pembagian, bagian-bagian dan hukum-hukum tentang hal-ihwal yang
diselidiki (alam, manusia, dan agama) sejauh yang dapat dijangkau daya
pemikiran yang dibantu penginderaan itu, yang kebenarannya diuji secara
empiris, riset dan eksprimental”.
Dari definisi tersebut
diperoleh ciri-ciri ilmu pengetahuan yaitu; sistematis, generalitas (keumuman),
rasionalitas, objektivitas, verifibialitas dan komunitas. Sistematis, ilmu
pengetahuan disusun seperti sistem yang memiliki fakta-fakta penting yang
saling berkaitan. Generalitas, kualitas ilmu pengetahuan untuk merangkum
fenomena yang senantiasa makin luas dengan penentuan konsep yang makin umum
dalam pembahasan sasarannya. Rasionalitas, bersumber pada pemikiran rasional
yang mematuhi kaidah-kaidah logika. Verifiabilitas, dapat diperiksa
kebenarannya, diselidiki kembali atau diuji ulang oleh setiap anggota lainnya
dari masyarakat ilmuan. Komunitas, dapat diterima secara umum, setelah diuji
kebenarannya oleh ilmuwan.
Sedangkan yang menjadi
objek ilmu pengetahuan dapat dibagi dua yaitu objek materi (material objek) dan
objek fomal (formal objek). Objek materi adalah sasaran yang berupa
materi yang dihadirkan dalam suatu pemikiran atau penelitian. Didalamnya
terkandung benda-benda materi ataupun non-materi. Bisa juga berupa hal-hal,
masalah-masalah, ide-ide, konsep-konsep dll.
Objek formal yang berarti sudut pandang menurut segi mana suatu objek diselidiki. Objek
formal menunjukkan pentingnya arti, posisi dan fungsi-fungsi objek dalam ilmu
pengetahuan. Sebagai contoh pembahasan tentang objek materi “manusia”. Dalam
diri manusia terdapat beberapa aspek, seperti: kejiwaan, keragaan,
keindividuaan dan juga kesosialan. Aspek inilah yang menjadi objek forma ilmu
pengetahuan. Manusia dengan objek formalnya akan menghasilkan beberapa macam
ilmu pengetahuan, misalnya biologi, fisikologi, sosiologi, antropologi dan lain-lain.
Dengan kata lain ilmu
pengetahuan adalah pengetahuan tentang suatu objek yang diperoleh dengan metode
ilmiah yang disusun secara sistematik sebagai sebuah kebenaran.[2]
B. Jalan Memperoleh Pengetahuan
Adapun jalan memperoleh pengetahuan dengan cara yaitu:
1. Indra
Al –Qur’an mengajak manusia untuk menggunakan
indra dan akal sekaligus dalam pengalaman manusia, baik yang bersifat fisik
maupun metafisik karena indra dan akal saling menyempurnakan.Ali Abdul Azhim
berbendapat bahwa kedua sumber ilmu tersebut tidak terpisah dan tidak berdiri
sendiri sebagaimana pemahaman mazhab empirisme dan rasionalisme. Allah swt.
selalu menyeru manusia untuk menggunakan nikmat indra dan akal secara simultan.
Orang – orang yang mengabaikan indra dan kabulnya, maka akan tersesat dan jauh
dari kebenaran.
Artinya :
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu
dalam Keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran,
penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.”(an –Nahl : 78)
Artinya :
“Dan Sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi
neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi
tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai
mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan
Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar
(ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih
sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai.”(al – A’raf : 179)
Artinya :
“Allah telah
mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. dan
bagi mereka siksa yang Amat berat.” (al – Baqarah : 7)
Fakultas indra yang dianugerahkan Allah
swt.kepada manusia akan dimintai pertanggungjawabannya kelak di akhirat. Oleh
karena itu, manusia harus berupaya memelihara indra mereka dan menggunakannya
hanya untuk hal – hal yang bermanfaat bagi diri dan agamanya,
Artinya :
“Dan janganlah
kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta
pertanggunganjawabnya.” (al – Isra : 36)
Dari ayat – ayat tersebut, tampak jelas bahwa
Al – Qur’an telah menempatkan tanggung jawab yang berat atas fakultas indra
dalam kaitannya sebagai sumber ilmu. Begitu juga dengan hati (fuad) yang
sama – sama diminta pertanggungjawabannya karena keduanya tidak dapat
dipisahkan satu dengan lainnya dan merupakan satu kesatuan dalam menerima ilmu.
Pancaindra lebih menguasai manusia menurut al-Ghazali merupakan hal yang
bersifat fitrah. Manusia lebih menerima dan mengikuti konklusi pancaindra dan
khayal (wahm) karena pancaindra ada terlebih dahulu daripada akal yang baru
hadir dan diterima apabila akal memiliki posisi yang kuat dan dapat menguasai
pancaindra dan wahm.
Menurut al-Ghazali, pancaindra merupakan
sarana penangkap pertama yang muncul dari dalam diri manusia, disusul dengan
daya khayal yang menyusun aneka bentuk susunan, dari partikular – partikular
yang ditangkap indra, kemudian tamyiz (daya pembeda) yang menangkap
sesuatu di atas alam empirik sensual di sekitar usia tujuh tahun, kemudian disusul
oleh akal yang menangkap hukum – hukum akal yang tidak terdapat pada fase
sebelumnya. Pancaindra diibaratkan sebagai tentara kalbu yang disebar ke dunia
fisis – sensual dan berooperasi di wilayahnya masing – masing dan laporannya
berguna bagi akal. Yang paling dominan di antara pancaindra tersebut menurut
al-Ghazali adalah indra pengelihatan.[3]
Di dalam filsafat barat,
pandangan yang mengatakan bahwa pengalaman adalah sumber pengetahuan dikenal dengan nama empirisme. Dengan kata lain, empirisme mengemukakan bahwa ilmu pengetahuan diperoleh melalui pengalaman indrawi dan bukan melalui rasio.
Ada beberapa ciri pokok pengalaman. Pertama, pengalaman indrawi selalu berhubungan dengan objek tertentu diluar sipengamat (subjek). Kedua, pengalaman manusia tidak seragam
(pancaindra). Terakhir, pengalaman manusia terus berkembang.Tentang ciri
yang pertama, hubungan antara subjek dengan objek dapat dalam bentuk melihat, mendengar, meraba, mencium, dan merasa.Objek itu dapat berbentuk benda-benda fisis seperti
orang, binatang, hewan, tumbungan ataupun ide
atau gagasan.
Tentang ciri kedua,
karena pengalaman manusia tidak seragam maka sebagai hasilnya kita dapat berfikir,
menilai, membandingkan, memutuskan, atau kita dapat sedih,
gembira, kecewa dan lain-lain.Tentang yang ketiga, pengalaman manusia terus berkembang,
ini disebabakan berbagai factor entah ini lantaran disebabkan pertambahan usia,
pendidikan/ lingkungan, atau perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi dan lain-lain.[4]
2. Akal
Sumber ilmu selain wahyu dalam epistemologi
Islam adalah akal (‘aql), ‘aql sebagai masdhar tidak disebutkan dalam Al –
Qur’an, tetapi sebagai kata kerja ‘aqala dengan segala akar katanya terdapat
dalam Al – Qur’an sebanyak 49 kali. Semuanya
menunjukan unsur pemikiran pada manusia.[5]
Bentuk ((عَقَلُوْهُdisebutkan satu kali.
Artinya :
“Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan
percaya kepadamu, padahal segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu
mereka mengubahnya setelah mereka memahaminya, sedang mereka mengetahui?”(al – Baqarah : 75)
Bentuk (تَعْقِلُوْنَ ) disebukan sekitar 24
kali,
Artinya :
“Kami tidak mengutus sebelum kamu, melainkan
orang laki-laki yang Kami berikan wahyu kepadanya diantara penduduk negeri.
Maka tidakkah mereka bepergian di muka bumi lalu melihat bagaimana kesudahan
orang-orang sebelum mereka (yang mendustakan Rasul) dan Sesungguhnya kampung
akhirat adalah lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu
memikirkannya?” (Yusuf : 109)
Bentuk (نَعْقِلُ)
disebutkan satu kali,
Artinya :
“Dan mereka berkata, ‘Sekiranya Kami mendengarkan atau
memikirkan (peringatan itu), niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni
neraka yang menyala-nyala".[6]
(al – Mulk : 10)
Bentuk (يَعْقِلُلُهَآ)disebutkan satu kali,
Artinya :
“Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk manusia;
dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.”(al – ‘Ankabuut : 43)
Bentuk (يَّعْقِلُوْنَ) disebutkan sekitar 22 kali.
Artinya :
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih
bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang
berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu
dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di
bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan
antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran
Allah) bagi kaum yang memikirkan.”[7](al – Baqarah : 164)
Secara etimologis,kata ‘aql dalam bahasa Arab
berasal dari kata kerja aqala-ya’qilu-aqlan. Kamus – kamus Arab
memberikan arti ‘aql (secara hafiah) dengan pengertian al-imsak artinya
menahan, al-ribath artinya ikatan, al-hijr artinya menahan, al-nahy
artinya melarang dan man’u artinya mencegah. Orang yang berakal
(al-‘aqil) adalah orang yang mengekang dirinya dan menolak keinginan hawa
nafsunya. Merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia, akal mempunyai beberapa
pengertian yang berbeda, yaitu : (1) daya pikir (untuk mengerti dan
sebagainya); (2) daya, upaya, cara melakukan sesuatu; (3) tipu daya, muslihat
dan (4) kemampuan melihat cara – cara memahami lingkungan.[8]
Ibn Taimiyah berkata bahwa kata al – ‘aql menurut kaum muslimin dan mayoritas
ulama sebenarnya adalah sifat. Aql merupakan potensi yang terdapat dalam diri
orang yang berakal. Ibn Taimiyah mendasarkan pendapatnya pada Al-Qur’an,yaitu
dalam firman La’allakum ta’qiluun (agar kalian mengerti). Juga pada Qad
bayyanna lakum al-a-yati in kuntum ta’qilun ‘telah Kami terangkan ayat –
ayat Kami jika Kamu mengerti’ dan lain – lain. Sehingga beliau berkesimpulan
bahwa kata al-‘aql tidak bisa dipakai untuk menyebut al-ilmu ‘ilmu’ yang belum
diamalkan oleh pemiliknya,juga tidak bisa dipakai untuk menyebut amal yang
tidak dilandasi ilmu. Kata al-‘aql hanya bisa dipakai untuk menyebut
ilmu yang diamalkan dan amal yang dilandasi ilmu.”[9]
Menurut Al – Farabi ada tiga jenis akal : Pertama,
Allah sebagai Akal; kedua, akal – akal dalam filsafat emanasi : satu
sampai sepuluh; dan ketiga, akal yang terdapat pada diri manusia. Akal
pada jenis pertama dan kedua tidak berfisik (imateri/rohani) dan tidak
menempati fisik, namun antara keduanya terdapat perbedaan yang sangat tajam.
Allah sebagai akal adalah Pencipta dan Esa semutlak – mutlaknya, Mahasempurna
dan tidak mengandung pluralitas. Sebagai Zat Yang Esa, maka objek ta’aqqul
Allah hanya satu, yakni zat-Nya. Jika diandaikan objek ta’aqqul Allah
lebih dari satu, maka pada diri Allah terjadi pluralitas. Hal ini bertentangan
dengan prinsip tauhid.
Adapun jenis akal yang kedua, yakni akal –
akal pada filsafat emanasi, Akal pertama esa pada zatnya, tetapi dalam dirinya
mengandung keanekaan potensial. Ia diciptakan oleh Allah sebagai Akal, maka
objek ta’aqqul-nya (juga akal – akal lainnya) tidaklah lagi satu, tetapi
sudah dua : Allah sebagai Wajib al-Wujud dan dirinya sebagai mukminal-wujud.
Telah dikemukakan ada sepuluh akal dan sembilan planet, masing – masing akal
mengurus satu planet. Akal Kesepuluh (Akal Fa’al),di samping melimpahkan
kebenaran kepada para nabi dan filosof, juga berfungsi mengurusi bumi dan
segala isinya. Juga disebutkan bahwa pendapat Al-Farabi tentang sembilan planet
terpengaruh oleh pendapat astronomi Yunani saat itu yang mengatakan sembilan
planet.
Akal jenis ketiga ialah akal sebagai daya
berpikir yang terdapat dalam jiwa manusia. Akal jenis ini juga tidak berfisik,
tetapi bertempat pada materi. Akal ini bertingkat – tingkat, yang terdiri dari
Akal Potensial, Akal Aktual, dan Akal Mustafad. Akal yang disebut terakhir ini
yang dimiliki para filosof yang dapat menangkap cahaya yang dipancarkan Allah
ke alam materi melalui Akal Kesepuluh(Akal Fa’al).[10]
Rasionalisme yaitu suatu cara atau metode
dalam memperoleh sumber pengetahuan yang dilandaskan pada akal. Bukan karena rasionalisme
mengingkari nilai pengalaman, melainkan pengalaman paling – paling dipandang
sebagai sejenis perangsang bagi pikiran. Jika kebenaran mengandung makna dan
mempunyai ide yang sesuai dengan atau menunjukkan kepada kenyataan, maka
kebenaran hanya ada didalam fikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan akal
budi.[11]
Logika
adalah cabang filsafat yang membahas prinsip – prinsip yang digunakan untuk membedakan antara argumen
– argumen yang masuk pendapat (rasional)
dengan argumen – argumen yang tidak masuk akal.Logika merumuskan aturan
– aturan yang harus diikuti untuk menarik
kesimpulan yang lurus/tepat. Dengan kata lain, logika adalah ilmu dan kecakapan
berfikir dengan tepat. Karena itu ,jelas ada hubungan yang sangat dekat antara metode
dan logika, sehingga metode – metode ilmiah
dapat juga dipandang sebagai bagian dari logika.[12]
3.
Intuisi
Intuisi adalah (tenaga rohani) ,suatu kemampuan yang mengatasi rasio,
kemampuan untuk menyimpulkan serta memahami secara mendalam. Intuisi adalah pengenalan terhadap sesuatu dan bukan melalui inferensilogis (deduksi –induksi). Intuisi merupakan kemampuan untuk mendapatkan pengetahuan secara tiba – tiba dan secara langsung. Intuisi itu terdiri dari intuisi indrawi dan intuisi intelektual. Intuisi indrawi timbul sebagai hasil pengamatan atau pengalaman.
Misalnya, pengalaman Archimedes ketika ia merasakan berat badannya berkurang ketika
ia masuk kekolam renang, secara tiba – tiba ia langsung menemukan jawaban atas apa
yang di fikarkannya, sehingga ia berlari dan berteriak, “ eureka,eureka” (
telahku temukan !)[13]
Menurut Henry Bergson intuisi adalah hasil dari evolusi pemahaman
yang tertinggi. Kemampuan ini mirip dengan insting, tetapi berbeda dengan kesadaran
dan kebebasannya. Pengembangan kemampuan ini (intuisi) memerlukan suatu usaha. Ia
juga mengatakan bahwa intuisi adalah suatu pengetahuan yang langsung, yang
mutlak dan bukan pengetahuan yang nisbi. Menurutnya, intuisi mengatasi sifat lahiriah
pengetahuan simbolis , yang pada dasarnya bersifat analisis, menyeluruh,
mutlak, dan tanpa dibantu oleh penggambaran secara simbolis karena itu, intuisi
adalah sarana untuk mengetahui langsung dan seketika. Analisis itu pengetahuan yang diperoleh lewat pelukisan tidak dapat menggantikan hasil pengenalan intuisi.
Intuisi bersifat
personal dan tidak bisa diramalkan. Sebagai dasar untuk menyusun pengetahuan secara teratur,
intuisi tidak dapat diandalkan. Pengetahuan intuisi dapat dipergunakan sebagai hipotesa
bagian analisis selanjutnya dalam menentukan benartidaknya pernyataan yang di
kemukakan. Kegiatan intuisi dan analisis bisa bekerja saling membantu dalam menemukan
kebenaran. Bagi Nietzchen intuisi merupakan
“inteligensi yang paling tinggi” dan bagi maslwointuisi merupakan
“pengalaman puncak” (peak exprience).Ada sebuah ismelagi yang barang kali mirip
dengan intuisi onisme, yaitu iluminasio nisme. Aliran ini berkembang di
kalangan tokoh agama islamdisebutma’rifah, yaitu pengetahuan yang datang dari tuhan
melalui pencerahan dan penyinaran. Pengetahuan tersebut akan
di peroleh oleh orang yang hatinya telah bersih,
telahsiap, dan sanggup menerima pengetahuan tersebut.
Kemampuan menerima pengetahuan secara langsung itu diperoleh dengan cara latihan,
yang dalam islam disebut Riyadhah. Metode ini secara umum dipakai dalam Thariqat atau Tasawup. Konon, kemampuan orang – orang itu sampai bisa melihat tuhan,
berbincang dengan Tuhan, melihat surga, neraka, dan alam gaib lainnya. Dari
kemampuan ini dapat dipahami bahwa mereka tentu mempunyai pengetahuan tingkat tinggi
yang banyak sekali dan meyakinkan pengetahuan itu diperoleh bukan lewatin deradan
bukan lewat akal, melainkan lewat hati. Menurut ajaran tasawup, manusia itu dipengaruhi (ditutupi) oleh hal – hal material, di pengaruhi oleh nafsunya. Bila nafsu
dikendalikan, dan penghalang material (hijab) dapat disingkirkan, kekuatan rasa
ini mampu bekerja, mampu menangkap objek-objek gaib. Di dalam tasawuf ini digambarkan
sebagai dalam keadaan fana. Jiwa mampu melihat alam ghaib, dari situlah diperoleh
pengetahuan.
Adapun perbedaan
antara intuisi dalam filsafat barat dengan makrifat dalam Islam adalah kalau intuisi
diperoleh lewat perenungan dan pemikiran yang konsisten, sedangkan dalam Islam makrifat
di peroleh lewat perenungan dan penyinaran dari tuhan. Pengetahuan dengan pencerahan
ini dapat dianggap sebagai sumber pengetahuan. Sebab, jika pengetahuan korespondensi
melibatkan objek di luar dirinya, maka pengetahuan dengan pencerahan menyadarkan
bahwa pengetahuan yang di luar harus didahului dengan pengetahuan tentang dirinya
sendiri.
4. Ilham
[14]Sumber ilmu yang primer dalam pengetahuan
Islam adalah wahyu yang diterima oleh nabi yang berasal dari Allah SWT. sebagai
sumber dari segala sesuatu. Al Wahyu atau wahyu merupakan masdhar (infinitif)
yang memberikan dua pengertian dasar yaitu tersembunyi dan cepat. Pengertian
wahyu secara etimologi meliputi : 1. Ilham sebagai bawaan dasar manusia, 2.
Ilham berupa naluri pada binatang, 3. Isyarat yang cepat menurut rumus dan
kode, 4. Bisikan dan tipu daya setan untuk menjadikan yang buruk kelihatan
indah dalam diri manusia, serta 5. Apa yang disampaikan Allah kepada para
malaikatnya berupa satu perintah untuk dikerjakan. Namun, makna wahyu sebagai
istilah adalah “kalam allah yang diturunkan kepada seorang nabi”. Definisi ini
digunakan pengertian maf’ul, yaitu al-muha yang berarti ‘yang
diwahyukan’.
5. Wahyu
Wahyu adalah pengetahuan yang disampaikan oleh Allah
kepada manusia lewat perantaraan pada nabi.
Para nabi memperoleh pengetahuan dari tuhan tanpa upaya, tanpa berusaha payah, tanpa memerlukan waktu untukmemperolehnya. pengetahuan mereka terja di atas kehendak tuhan semesta. Tuhan mensucikan jiwa mereka dan di terangkankan-nya pula jiwa mereka untuk memperoleh kebenaran dengan jalan wahyu.
Pengetahuan dengan jalan ini merupakan kekhususan para nabi. Hal inilah yang membedakan mereka dengan manusia – manusia lainnya.
Akal meyakinkan bahwa kebenaran pengetahuan mereka berasal dari tuhan, karena pengetahuan itu memang adap ada saat manusia biasa tidak mampu mengusahakannya, karena hal itu memang diluar kemampuan manusia.
Bagi manusia itu tidak ada jalan lain kecuali menerima dan membenarkan semua
yang berasal dari nabi.
Wahyu ialah kebenaran yang langsung
disampaikan Tuhan kepada salah seorang dari hambanya. Dengan kata lain wahyu terjadi karena adanya
komunikasi antara Tuhan dan manusia. Dalam falsafat Tuhan itu Mind,Akal. Karena Tuhan adalah Akal maka manusia yang
mempunyai akal tidak mustahil dapat mengadakan komunikasi dengan Tuhan sebagai
Akal.[15]
Wahyu Allah atau (agama) berisikan pengetahuan,
baik mengenai kehidupan seseorang yang terjangkau oleh pengalaman, maupun yang
mencakup masalah transedental, seperti latar belakang dan tujuan penciptaan manusia,
dunia, dan segenap isinya serta kehidupan di akhirat nanti. Kepercayaan inilah
yang merupakan titik tolak dalam agama dan lewat pengkajian selanjutnya dapat meningkatkan
atau menurunkan kepercayaan itu. Sedangkan ilmu pengetahuan sebaliknya, yaitu di
mulai mengkaji dengan riset, pengalaman dan percobaan untuk sampai kepada kebenaran
yang faktual.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
1 Definisi Pengetahuan
Pengetahuan
adalah cabang filsafat yang ber urusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan,
pengandaian-pengandaian dan dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas
pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki. Mula-mula manusia percaya bahwa
dengan kekuasaan pengenalannya ia dapat mencapai realitas sebagaimana adanya
para filosof pra Sokrates, yaitu filosof pertama di alam tradisi Barat, tidak
memberikan perhatian pada cabang filsafat ini sebab mereka memusatkan perhatian,
terutama pada alam dan kemungkinan perubahan, sehingga mereka kerap dijuluki
filosof alam.
2 Jalan Memperoleh Pengetahuan
1 Indra
2 Akal
3 Intuisi
4 Ilham
5 Wahyu
DAFTAR PUSTAKA
Bakhtiar Amsal, 2004. Filsafat Ilmu.Jakarta : PT GRAFINDO
PERSADA.
Husaini Adian, 2013.Filsafat Ilmu Perspektif Barat dan Islam.
Jakarta : Gema Insani.
Harun Nasution, 1973. Falsafat Agama. Jakarta : Bulan Bintang.
Suriasumantri S. Jujun,2010. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer.
Jakarta : PT.PENEBAR SWADAYA.
Usiono, 2015.Filsafat Ilmu. Bandung : Citapustaka Media.
Yusuf Akhyar, 2014. Filsafat Ilmu Klasik Hingga Kontemporer.
Jakarta : PT RAJAGAFINDO PERSADA.
Zar Sirajuddin,2010. Filsafat Islam Filosof & Filsafatnya.
Jakarta : PT RAJA GRAFINDO PERSADA.
[1] Amsal Bakhtiar, FILSAFAT ILMU (Jakarta
: PT GRAFINDO PERSADA, 2004)hlm.85
[3]Adian Husaini, FILSAFAT ILMU PERSPEKTIF
BARAT DAN ISLAM (Jakarta :Gema Insani,2013)hlm. 109
[4] Akhyar Yusuf Lubis, FILSAFAT ILMU
KLASIK HINGGA KONTEMPORER (Jakarta : PT RAJAGAFINDO PERSADA,2014)hlm.36
[5]Adian Husaini, FILSAFAT ILMU PERSPEKTIF
BARAT DAN ISLAM (Jakarta :Gema Insani,2013)hlm.102
[10] Sirajuddin Zar, FILSAFAT ISLAM FILOSOF
& FILSAFATNYA (Jakarta : PT RAJA GRAFINDO PERSADA,2010)hlm.90
[11] Usiono, FILSAFAT ILMU (Bandung :
Citapustaka Media : 2015)hlm. 164
[15] Harun Nasution,FALSAFAT AGAMA
(Jakarta : Bulan Bintang,1973)hlm.17
Tidak ada komentar:
Posting Komentar