Rabu, 01 Juni 2016

Jalan Memperoleh Pengetahuan



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pengetahuan adalah cabang filsafat yang ber urusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, pengandaian-pengandaian dan dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki. Mula-mula manusia percaya bahwa dengan kekuasaan pengenalannya ia dapat mencapai realitas sebagaimana adanya para filosof pra Sokrates, yaitu filosof pertama di alam tradisi Barat, tidak memberikan perhatian pada cabang filsafat ini sebab mereka memusatkan perhatian, terutama pada alam dan kemungkinan perubahan, sehingga mereka kerap dijuluki filosof alam.
Pengetahuan berkembang dari rasa ingin tahu,yang merupakan ciri khas manusia,karena manusia adalah salah satunya makhluk yang mengembangkan pengetahuan secara sungguh-sungguh.binatang juga mempunyai pengetahuan,namun  pengetahuan ini terbatas untuk kelangsungan hidupnya.manusia mengembangkan pengetahuan untuk mengatasi kebutuhan-kebutuhan kelangsungan hidupnya.manusia senantiasa penasaran terhadap cita-cita hidup ini.yang hendak diraih adalah pengetahuan yang benar,kebenaran hidup itu.
Dan ketika  membahas tentang pengetahuan ini,  nantinya akan membahas tentang bagaimana pengetahuan itu akan didapat oleh seorang manusia, dan metode apakah yang akan dipakai untuk mendapatkan suatu pengetahuan?. Pastin kemudian akan dijelaskan pada uraian berikutnya.
B.     Rumusan Masalah
a.       Apa definisi pengetahuan ?
b.      Bagaimana  jalan memperoleh sumber pengetahuan ?
C.    Tujuan
a.      Untuk mengetahui definisi pengetahuan.
b.      Untuk mengetahui jalan memperoleh sumber pengetahuan.
BAB II
JALAN MEMPEROLEH PENGETAHUAN
A.    Pengertian Ilmu Pengetahuan
Secara etimologi, ilmu pengetahuan terdiri dari dua kata, yakni ilmu dan pengetahuan. Ilmu dalam bahas Arab, berasal dari kata Alama artinya mengecap atau memberi tanda. Sedangkan ilmu berarti pengetahuan. Sedangkan dalam bahasa Inggris ilmu berarti science, yang berasal dari bahasa latin scientia, yang merupakan turunan dari kata scire, dan mempunyai arti mengetahui (to know), yang juga berarti belajar (to learn). Dalam Webster’s Dictionary disebutkan bahwa;
Pengetahuan yang membedakan dari ketidak tahuan atau kesalahpahaman; pengetahuan yang diperoleh melalui belajar atau praktek, suatu bagian dari pengetahuan yang  disusun secara sistematis  sebagai salah satu objek studi (ilmu teologi), pengetahuan yang mencakup kebenaran umum atau hukum-hukum operasinal yang diperoleh dan diuji melalui metode ilmiah; pengetahuan yang memperhatikan dunia pisik dan gejala-gejalanya (ilmu pengetahuan alami), suatu sistem atau metode atau pengakuan yang didasarkan pada prinsip-prinsip ilmiah.
Sedangkan pengetahuan merupakan arti dari kata knowledge yang mempunyai arti;
“Kenyataan atau keadaan mengetahui sesuatu yang diperoleh secara umum melalui pengalaman atau kebenaran secara umum, kenyataan atau kondisi manusia yang menyadari sesuatu, kenyataan atau kondisi memiliki informasi yang sedang dipelajari, sejumlah pengetahuan; susunan kepercayaan, informasi dan prinsip-prinsip yang diperoleh manusia”.[1]
Konklusi dari pernyataan diatas, Ilmu diinterpretasikan sebagai   salah satu dari pengetahuan yang diperoleh melalui metode ilmiah yang sistematis. Sedangkan pengetahuan diperoleh dari kebiasaan atau pengalaman sehari-hari. Dengan demikian ilmu lebih sempit dari pegetahuan, atau ilmu merupakan bagian dari pengetahuan.

Pengertian tersebut tidak jauh berbeda dari definisi yang dikemukakan  oleh para ahli terminologi. Kata ilmu diartikan oleh Charles Singer sebagai proses membuat pengetahuan. Definisi yang hampir sama dikemukakan John  Warfield  yang mengartikan ilmu sebagai rangkaian aktivitas penyelidikan. Sedangkan pengetahuan menurut Zidi Gazalba merupakan hasil pekerjaan dari tahu yang merupakan hasil dari kenal, sadar, insaf, mengerti dan pandai. Pengetahuan menurutnya adalah milik atau isi fikiran. Sedangkan pengertian ilmu pengetahuan sebagai terjemahan dari science, seperti dikatakan oleh Endang Saefuddin Anshori ialah;
“Usaha pemahaman manusia yang disusun dalam satu sistem mengenai kenyataan, struktur, pembagian, bagian-bagian dan hukum-hukum tentang hal-ihwal yang diselidiki (alam, manusia, dan agama) sejauh yang dapat dijangkau daya pemikiran yang dibantu penginderaan itu, yang kebenarannya diuji secara empiris, riset dan eksprimental”.
Dari definisi tersebut diperoleh ciri-ciri ilmu pengetahuan yaitu; sistematis, generalitas (keumuman), rasionalitas, objektivitas, verifibialitas dan komunitas. Sistematis, ilmu pengetahuan disusun seperti sistem yang memiliki fakta-fakta penting yang saling berkaitan. Generalitas, kualitas ilmu pengetahuan untuk merangkum fenomena yang senantiasa makin luas dengan penentuan konsep yang makin umum dalam pembahasan sasarannya. Rasionalitas, bersumber pada pemikiran rasional yang mematuhi kaidah-kaidah logika. Verifiabilitas, dapat diperiksa kebenarannya, diselidiki kembali atau diuji ulang oleh setiap anggota lainnya dari masyarakat ilmuan. Komunitas, dapat diterima secara umum, setelah diuji kebenarannya oleh ilmuwan.
Sedangkan yang menjadi objek ilmu pengetahuan dapat dibagi dua yaitu objek materi (material objek) dan objek fomal (formal objek). Objek materi adalah sasaran yang berupa materi yang dihadirkan dalam suatu pemikiran atau penelitian. Didalamnya terkandung benda-benda materi ataupun non-materi. Bisa juga berupa hal-hal, masalah-masalah, ide-ide, konsep-konsep dll.
Objek formal yang berarti sudut pandang menurut segi mana suatu objek diselidiki. Objek formal menunjukkan pentingnya arti, posisi dan fungsi-fungsi objek dalam ilmu pengetahuan. Sebagai contoh pembahasan tentang objek materi “manusia”. Dalam diri manusia terdapat beberapa aspek, seperti: kejiwaan, keragaan, keindividuaan dan juga kesosialan. Aspek inilah yang menjadi objek forma ilmu pengetahuan. Manusia dengan objek formalnya akan menghasilkan beberapa macam ilmu pengetahuan, misalnya biologi, fisikologi, sosiologi, antropologi dan lain-lain.
Dengan kata lain ilmu pengetahuan adalah pengetahuan tentang suatu objek yang diperoleh dengan metode ilmiah yang disusun secara sistematik sebagai sebuah kebenaran.[2]
B.   Jalan Memperoleh Pengetahuan
Adapun jalan memperoleh pengetahuan dengan cara yaitu:
1.       Indra
Al –Qur’an mengajak manusia untuk menggunakan indra dan akal sekaligus dalam pengalaman manusia, baik yang bersifat fisik maupun metafisik karena indra dan akal saling menyempurnakan.Ali Abdul Azhim berbendapat bahwa kedua sumber ilmu tersebut tidak terpisah dan tidak berdiri sendiri sebagaimana pemahaman mazhab empirisme dan rasionalisme. Allah swt. selalu menyeru manusia untuk menggunakan nikmat indra dan akal secara simultan. Orang – orang yang mengabaikan indra dan kabulnya, maka akan tersesat dan jauh dari kebenaran.
  
Artinya :
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam Keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.”(an –Nahl : 78)
  
Artinya :
“Dan Sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai.”(al – A’raf : 179) 

Artinya :
“Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. dan bagi mereka siksa yang Amat berat.” (al – Baqarah : 7)

Fakultas indra yang dianugerahkan Allah swt.kepada manusia akan dimintai pertanggungjawabannya kelak di akhirat. Oleh karena itu, manusia harus berupaya memelihara indra mereka dan menggunakannya hanya untuk hal – hal yang bermanfaat bagi diri dan agamanya,
Ÿ  
Artinya :
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya.” (al – Isra : 36)
Dari ayat – ayat tersebut, tampak jelas bahwa Al – Qur’an telah menempatkan tanggung jawab yang berat atas fakultas indra dalam kaitannya sebagai sumber ilmu. Begitu juga dengan hati (fuad) yang sama – sama diminta pertanggungjawabannya karena keduanya tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya dan merupakan satu kesatuan dalam menerima ilmu. Pancaindra lebih menguasai manusia menurut al-Ghazali merupakan hal yang bersifat fitrah. Manusia lebih menerima dan mengikuti konklusi pancaindra dan khayal (wahm) karena pancaindra ada terlebih dahulu daripada akal yang baru hadir dan diterima apabila akal memiliki posisi yang kuat dan dapat menguasai pancaindra dan wahm.
Menurut al-Ghazali, pancaindra merupakan sarana penangkap pertama yang muncul dari dalam diri manusia, disusul dengan daya khayal yang menyusun aneka bentuk susunan, dari partikular – partikular yang ditangkap indra, kemudian tamyiz (daya pembeda) yang menangkap sesuatu di atas alam empirik sensual di sekitar usia tujuh tahun, kemudian disusul oleh akal yang menangkap hukum – hukum akal yang tidak terdapat pada fase sebelumnya. Pancaindra diibaratkan sebagai tentara kalbu yang disebar ke dunia fisis – sensual dan berooperasi di wilayahnya masing – masing dan laporannya berguna bagi akal. Yang paling dominan di antara pancaindra tersebut menurut al-Ghazali adalah indra pengelihatan.[3]
Di  dalam filsafat barat, pandangan yang mengatakan bahwa pengalaman adalah sumber pengetahuan dikenal dengan nama empirisme. Dengan kata lain, empirisme mengemukakan bahwa ilmu pengetahuan diperoleh melalui pengalaman indrawi dan bukan melalui rasio.
Ada beberapa ciri pokok pengalaman. Pertama, pengalaman indrawi selalu berhubungan dengan objek tertentu diluar sipengamat (subjek). Kedua, pengalaman manusia tidak seragam (pancaindra). Terakhir, pengalaman manusia terus berkembang.Tentang ciri yang pertama, hubungan antara subjek dengan objek dapat dalam bentuk melihat, mendengar, meraba, mencium, dan merasa.Objek itu dapat berbentuk benda-benda fisis seperti orang, binatang, hewan, tumbungan ataupun ide atau gagasan. Tentang ciri kedua, karena pengalaman manusia tidak seragam maka sebagai hasilnya kita dapat berfikir, menilai, membandingkan, memutuskan, atau kita dapat sedih, gembira, kecewa dan lain-lain.Tentang yang ketiga, pengalaman manusia terus berkembang, ini disebabakan berbagai factor entah ini lantaran disebabkan pertambahan usia, pendidikan/ lingkungan, atau perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi dan lain-lain.[4]
2.        Akal
Sumber ilmu selain wahyu dalam epistemologi Islam adalah akal (‘aql), ‘aql sebagai masdhar tidak disebutkan dalam Al – Qur’an, tetapi sebagai kata kerja ‘aqala dengan segala akar katanya terdapat dalam Al – Qur’an sebanyak 49 kali. Semuanya   menunjukan unsur pemikiran pada manusia.[5]
Bentuk ((عَقَلُوْهُdisebutkan satu kali.
  
Artinya :
          Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan percaya kepadamu, padahal segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya setelah mereka memahaminya, sedang mereka mengetahui?”(al – Baqarah : 75)
Bentuk (تَعْقِلُوْنَ ) disebukan sekitar 24 kali,
Artinya :
          “Kami tidak mengutus sebelum kamu, melainkan orang laki-laki yang Kami berikan wahyu kepadanya diantara penduduk negeri. Maka tidakkah mereka bepergian di muka bumi lalu melihat bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka (yang mendustakan Rasul) dan Sesungguhnya kampung akhirat adalah lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memikirkannya?” (Yusuf : 109)
Bentuk (نَعْقِلُ) disebutkan satu kali,
  
Artinya :
“Dan mereka berkata, ‘Sekiranya Kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu), niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala".[6] (al – Mulk : 10)
Bentuk (يَعْقِلُلُهَآ)disebutkan satu kali,
š  
Artinya :
“Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.”(al – ‘Ankabuut : 43)
Bentuk (يَّعْقِلُوْنَ) disebutkan sekitar 22 kali.

Artinya :
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.”[7](al – Baqarah : 164)
Secara etimologis,kata ‘aql dalam bahasa Arab berasal dari kata kerja aqala-ya’qilu-aqlan. Kamus – kamus Arab memberikan arti ‘aql (secara hafiah) dengan pengertian al-imsak artinya menahan, al-ribath artinya ikatan, al-hijr artinya menahan, al-nahy artinya melarang dan man’u artinya mencegah. Orang yang berakal (al-‘aqil) adalah orang yang mengekang dirinya dan menolak keinginan hawa nafsunya. Merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia, akal mempunyai beberapa pengertian yang berbeda, yaitu : (1) daya pikir (untuk mengerti dan sebagainya); (2) daya, upaya, cara melakukan sesuatu; (3) tipu daya, muslihat dan (4) kemampuan melihat cara – cara memahami lingkungan.[8] Ibn Taimiyah berkata bahwa kata al – ‘aql menurut kaum muslimin dan mayoritas ulama sebenarnya adalah sifat. Aql merupakan potensi yang terdapat dalam diri orang yang berakal. Ibn Taimiyah mendasarkan pendapatnya pada Al-Qur’an,yaitu dalam firman La’allakum ta’qiluun (agar kalian mengerti). Juga pada Qad bayyanna lakum al-a-yati in kuntum ta’qilun ‘telah Kami terangkan ayat – ayat Kami jika Kamu mengerti’ dan lain – lain. Sehingga beliau berkesimpulan bahwa kata al-‘aql tidak bisa dipakai untuk menyebut al-ilmu ‘ilmu’ yang belum diamalkan oleh pemiliknya,juga tidak bisa dipakai untuk menyebut amal yang tidak dilandasi ilmu. Kata al-‘aql hanya bisa dipakai untuk menyebut ilmu yang diamalkan dan amal yang dilandasi ilmu.”[9]
Menurut Al – Farabi ada tiga jenis akal : Pertama, Allah sebagai Akal; kedua, akal – akal dalam filsafat emanasi : satu sampai sepuluh; dan ketiga, akal yang terdapat pada diri manusia. Akal pada jenis pertama dan kedua tidak berfisik (imateri/rohani) dan tidak menempati fisik, namun antara keduanya terdapat perbedaan yang sangat tajam. Allah sebagai akal adalah Pencipta dan Esa semutlak – mutlaknya, Mahasempurna dan tidak mengandung pluralitas. Sebagai Zat Yang Esa, maka objek ta’aqqul Allah hanya satu, yakni zat-Nya. Jika diandaikan objek ta’aqqul Allah lebih dari satu, maka pada diri Allah terjadi pluralitas. Hal ini bertentangan dengan prinsip tauhid.
Adapun jenis akal yang kedua, yakni akal – akal pada filsafat emanasi, Akal pertama esa pada zatnya, tetapi dalam dirinya mengandung keanekaan potensial. Ia diciptakan oleh Allah sebagai Akal, maka objek ta’aqqul-nya (juga akal – akal lainnya) tidaklah lagi satu, tetapi sudah dua : Allah sebagai Wajib al-Wujud dan dirinya sebagai mukminal-wujud. Telah dikemukakan ada sepuluh akal dan sembilan planet, masing – masing akal mengurus satu planet. Akal Kesepuluh (Akal Fa’al),di samping melimpahkan kebenaran kepada para nabi dan filosof, juga berfungsi mengurusi bumi dan segala isinya. Juga disebutkan bahwa pendapat Al-Farabi tentang sembilan planet terpengaruh oleh pendapat astronomi Yunani saat itu yang mengatakan sembilan planet.
Akal jenis ketiga ialah akal sebagai daya berpikir yang terdapat dalam jiwa manusia. Akal jenis ini juga tidak berfisik, tetapi bertempat pada materi. Akal ini bertingkat – tingkat, yang terdiri dari Akal Potensial, Akal Aktual, dan Akal Mustafad. Akal yang disebut terakhir ini yang dimiliki para filosof yang dapat menangkap cahaya yang dipancarkan Allah ke alam materi melalui Akal Kesepuluh(Akal Fa’al).[10]
Rasionalisme yaitu suatu cara atau metode dalam memperoleh sumber pengetahuan yang dilandaskan pada akal. Bukan karena rasionalisme mengingkari nilai pengalaman, melainkan pengalaman paling – paling dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran. Jika kebenaran mengandung makna dan mempunyai ide yang sesuai dengan atau menunjukkan kepada kenyataan, maka kebenaran hanya ada didalam fikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan akal budi.[11]
Logika adalah cabang filsafat yang membahas prinsip – prinsip  yang digunakan untuk membedakan antara argumen – argumen  yang masuk pendapat (rasional) dengan argumen – argumen   yang tidak masuk akal.Logika merumuskan aturan – aturan  yang harus diikuti untuk menarik kesimpulan yang lurus/tepat. Dengan kata lain, logika adalah ilmu dan kecakapan berfikir dengan tepat. Karena itu ,jelas ada hubungan yang sangat dekat antara metode dan logika, sehingga metode – metode  ilmiah dapat juga dipandang sebagai bagian dari logika.[12]
3.      Intuisi
Intuisi adalah (tenaga rohani) ,suatu kemampuan yang mengatasi rasio, kemampuan untuk menyimpulkan serta memahami secara mendalam. Intuisi adalah pengenalan terhadap sesuatu dan bukan melalui inferensilogis (deduksi –induksi). Intuisi merupakan kemampuan untuk mendapatkan pengetahuan secara tiba tiba  dan secara langsung. Intuisi itu terdiri dari intuisi indrawi dan intuisi intelektual. Intuisi indrawi timbul sebagai hasil pengamatan atau pengalaman. Misalnya, pengalaman Archimedes ketika ia merasakan berat badannya berkurang ketika ia masuk kekolam renang, secara tiba – tiba ia langsung menemukan jawaban atas apa yang di fikarkannya, sehingga ia berlari dan berteriak, “ eureka,eureka” ( telahku temukan !)[13]
Menurut Henry Bergson intuisi adalah hasil dari evolusi pemahaman yang tertinggi. Kemampuan ini mirip dengan insting, tetapi berbeda dengan kesadaran dan kebebasannya. Pengembangan kemampuan ini (intuisi) memerlukan suatu usaha. Ia juga mengatakan bahwa intuisi adalah suatu pengetahuan yang langsung, yang mutlak dan bukan pengetahuan yang nisbi. Menurutnya, intuisi mengatasi sifat lahiriah pengetahuan simbolis , yang pada dasarnya bersifat analisis, menyeluruh, mutlak, dan tanpa dibantu oleh penggambaran secara simbolis karena itu, intuisi adalah sarana untuk mengetahui langsung dan seketika. Analisis itu pengetahuan yang diperoleh lewat pelukisan tidak dapat menggantikan hasil pengenalan intuisi.
           Intuisi bersifat personal dan tidak bisa diramalkan. Sebagai dasar untuk menyusun pengetahuan secara teratur, intuisi tidak dapat diandalkan. Pengetahuan intuisi dapat dipergunakan sebagai hipotesa bagian analisis selanjutnya dalam menentukan benartidaknya pernyataan yang di kemukakan. Kegiatan intuisi dan analisis bisa bekerja saling membantu dalam menemukan kebenaran. Bagi Nietzchen intuisi merupakan  “inteligensi yang paling tinggi” dan bagi maslwointuisi merupakan “pengalaman puncak” (peak exprience).Ada sebuah ismelagi yang barang kali mirip dengan intuisi onisme, yaitu iluminasio nisme. Aliran ini berkembang di kalangan tokoh agama islamdisebutma’rifah, yaitu pengetahuan yang datang dari tuhan melalui pencerahan dan penyinaran. Pengetahuan tersebut akan di peroleh oleh orang yang hatinya telah bersih, telahsiap, dan sanggup menerima pengetahuan tersebut.
            Kemampuan menerima pengetahuan secara langsung itu diperoleh dengan cara latihan, yang dalam islam disebut Riyadhah. Metode ini secara umum dipakai dalam Thariqat atau Tasawup. Konon, kemampuan orang – orang itu sampai bisa melihat tuhan, berbincang dengan Tuhan, melihat surga, neraka, dan alam gaib lainnya. Dari kemampuan ini dapat dipahami bahwa mereka tentu mempunyai pengetahuan tingkat tinggi yang banyak sekali dan meyakinkan pengetahuan itu diperoleh bukan lewatin deradan bukan lewat akal, melainkan lewat hati. Menurut ajaran tasawup, manusia itu dipengaruhi  (ditutupi) oleh hal – hal  material, di pengaruhi oleh nafsunya. Bila nafsu dikendalikan, dan penghalang material (hijab) dapat disingkirkan, kekuatan rasa ini mampu bekerja, mampu menangkap objek-objek gaib. Di dalam tasawuf ini digambarkan sebagai dalam keadaan fana. Jiwa mampu melihat alam ghaib, dari situlah diperoleh pengetahuan.
            Adapun perbedaan antara intuisi dalam filsafat barat dengan makrifat dalam Islam adalah kalau intuisi diperoleh lewat perenungan dan pemikiran yang konsisten, sedangkan dalam Islam makrifat di peroleh lewat perenungan dan penyinaran dari tuhan. Pengetahuan dengan pencerahan ini dapat dianggap sebagai sumber pengetahuan. Sebab, jika pengetahuan korespondensi melibatkan objek di luar dirinya, maka pengetahuan dengan pencerahan menyadarkan bahwa pengetahuan yang di luar harus didahului dengan pengetahuan tentang dirinya sendiri.
4.      Ilham
[14]Sumber ilmu yang primer dalam pengetahuan Islam adalah wahyu yang diterima oleh nabi yang berasal dari Allah SWT. sebagai sumber dari segala sesuatu. Al Wahyu atau wahyu merupakan masdhar (infinitif) yang memberikan dua pengertian dasar yaitu tersembunyi dan cepat. Pengertian wahyu secara etimologi meliputi : 1. Ilham sebagai bawaan dasar manusia, 2. Ilham berupa naluri pada binatang, 3. Isyarat yang cepat menurut rumus dan kode, 4. Bisikan dan tipu daya setan untuk menjadikan yang buruk kelihatan indah dalam diri manusia, serta 5. Apa yang disampaikan Allah kepada para malaikatnya berupa satu perintah untuk dikerjakan. Namun, makna wahyu sebagai istilah adalah “kalam allah yang diturunkan kepada seorang nabi”. Definisi ini digunakan pengertian maf’ul, yaitu al-muha yang berarti ‘yang diwahyukan’.

5.      Wahyu
Wahyu adalah pengetahuan yang disampaikan oleh Allah kepada manusia lewat perantaraan pada nabi. Para nabi memperoleh pengetahuan dari tuhan tanpa upaya, tanpa berusaha payah, tanpa memerlukan waktu untukmemperolehnya. pengetahuan mereka terja di atas kehendak tuhan semesta. Tuhan mensucikan jiwa mereka dan di terangkankan-nya pula jiwa mereka untuk memperoleh kebenaran dengan jalan wahyu. Pengetahuan dengan jalan ini merupakan kekhususan para nabi. Hal inilah yang membedakan mereka dengan manusia manusia lainnya. Akal meyakinkan bahwa kebenaran pengetahuan mereka berasal dari tuhan, karena pengetahuan itu memang adap ada saat manusia biasa tidak mampu mengusahakannya, karena hal itu memang diluar kemampuan manusia. Bagi manusia itu tidak ada jalan lain kecuali menerima dan membenarkan semua yang berasal dari nabi.
Wahyu ialah kebenaran yang langsung disampaikan Tuhan kepada salah seorang dari hambanya.  Dengan kata lain wahyu terjadi karena adanya komunikasi antara Tuhan dan manusia. Dalam falsafat Tuhan itu Mind,Akal.  Karena Tuhan adalah Akal maka manusia yang mempunyai akal tidak mustahil dapat mengadakan komunikasi dengan Tuhan sebagai Akal.[15]
Wahyu Allah atau (agama) berisikan pengetahuan, baik mengenai kehidupan seseorang yang terjangkau oleh pengalaman, maupun yang mencakup masalah transedental, seperti latar belakang dan tujuan penciptaan manusia, dunia, dan segenap isinya serta kehidupan di akhirat nanti. Kepercayaan inilah yang merupakan titik tolak dalam agama dan lewat pengkajian selanjutnya dapat meningkatkan atau menurunkan kepercayaan itu. Sedangkan ilmu pengetahuan sebaliknya, yaitu di mulai mengkaji dengan riset, pengalaman dan percobaan untuk sampai kepada kebenaran yang faktual.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
1  Definisi Pengetahuan
Pengetahuan adalah cabang filsafat yang ber urusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, pengandaian-pengandaian dan dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki. Mula-mula manusia percaya bahwa dengan kekuasaan pengenalannya ia dapat mencapai realitas sebagaimana adanya para filosof pra Sokrates, yaitu filosof pertama di alam tradisi Barat, tidak memberikan perhatian pada cabang filsafat ini sebab mereka memusatkan perhatian, terutama pada alam dan kemungkinan perubahan, sehingga mereka kerap dijuluki filosof alam.
2 Jalan Memperoleh Pengetahuan
1 Indra
2 Akal
3 Intuisi
4 Ilham
5 Wahyu




DAFTAR PUSTAKA
 
Bakhtiar Amsal, 2004. Filsafat Ilmu.Jakarta : PT GRAFINDO PERSADA.
Husaini Adian, 2013.Filsafat Ilmu Perspektif Barat dan Islam. Jakarta : Gema Insani.
Harun Nasution, 1973. Falsafat Agama. Jakarta : Bulan Bintang.
Suriasumantri S. Jujun,2010. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta : PT.PENEBAR SWADAYA.
Usiono, 2015.Filsafat Ilmu. Bandung : Citapustaka Media.
Yusuf Akhyar, 2014. Filsafat Ilmu Klasik Hingga Kontemporer. Jakarta : PT RAJAGAFINDO PERSADA.
Zar Sirajuddin,2010. Filsafat Islam Filosof & Filsafatnya. Jakarta : PT RAJA GRAFINDO PERSADA.








[1] Amsal Bakhtiar, FILSAFAT ILMU (Jakarta : PT GRAFINDO PERSADA, 2004)hlm.85
[2]Ibid,hlm.85
[3]Adian Husaini, FILSAFAT ILMU PERSPEKTIF BARAT DAN ISLAM (Jakarta :Gema Insani,2013)hlm. 109
[4] Akhyar Yusuf Lubis, FILSAFAT ILMU KLASIK HINGGA KONTEMPORER (Jakarta : PT RAJAGAFINDO PERSADA,2014)hlm.36
[5]Adian Husaini, FILSAFAT ILMU PERSPEKTIF BARAT DAN ISLAM (Jakarta :Gema Insani,2013)hlm.102
[6]Ibid,hlm.103
[7]Ibid,hlm.104
[8]Ibid,hlm.105
[9]Ibid,hlm.106
[10] Sirajuddin Zar, FILSAFAT ISLAM FILOSOF & FILSAFATNYA (Jakarta : PT RAJA GRAFINDO PERSADA,2010)hlm.90
[11] Usiono, FILSAFAT ILMU (Bandung : Citapustaka Media : 2015)hlm. 164
[12] Ibid,hlm.37
[13] Ibid,hlm.38
[14] Ibid,hlm.93
[15] Harun Nasution,FALSAFAT AGAMA (Jakarta : Bulan Bintang,1973)hlm.17

Tidak ada komentar:

Posting Komentar